KOTA PASURUAN | SWARAKITA.COM – Pelayanan kesehatan di RSUD Soedarsono, Kota Pasuruan, berada dalam kondisi memprihatinkan menyusul krisis dan keterbatasan stok obat vital. Kelangkaan obat seperti infus, Paracetamol, dan obat esensial lainnya memaksa penanganan pasien berjalan seadanya, memicu gelombang keluhan keras dari tenaga medis dan keluarga pasien.
Kekacauan ini diduga kuat akibat manajemen logistik dan pengadaan obat yang bermasalah. Keluhan ini semakin memprihatinkan karena Direktur RSUD Soedarsono dilaporkan tidak merespons komplain yang membanjiri grup komunikasi internal.
Salah satu dokter RSUD, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan kegelisahan dan dilema etis yang dihadapi tenaga medis. Ia menyoroti adanya pelanggaran aturan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Tadi ada kejadian pasien BPJS disuruh beli obat, terus pasien komplain ke pengaduan. Kalau BPJS kan mestinya tidak boleh beli obat," ujar dokter tersebut.
Kekosongan obat vital seperti Ampicillin sulbactam memicu kekhawatiran di kalangan dokter. Mereka bahkan mempertanyakan kelangsungan pelayanan.
"Sampai kapan krisis obat kelar? Atau sebaiknya semua pasien dirujuk saja? Saya ikhlas, Dok, kalau urusan jaspelnya (jasa pelayanan) seberapa pun, cuma kasihan pasiennya saja," tambahnya.
Dokter tersebut menambahkan bahwa situasi ini dapat membahayakan reputasi rumah sakit: "Kalau boleh bertanya, kenapa ini terjadi? Apa tidak berbahaya buat RS? Masalahnya apa?"
Perdebatan panas terjadi di grup WhatsApp RSUD, di mana staf menyoroti kinerja manajemen dan perencanaan.
Kritik pedas dilontarkan, menyentil kinerja manajemen: "Hai pengadaan? perencanaan? Remunnya siap-siap anjlok. Halo farmasi, stok obat kosong kok diam aja."
Pihak farmasi merespons kritik tersebut, menyatakan bahwa mereka telah melakukan prosedur yang benar. "Kami dari farmasi sudah merencanakan kebutuhan obat di awal Oktober, Pak, untuk kebutuhan 2-3 bulan ke depan. Dan kami follow up tiap minggu dengan memberikan daftar obat kategori vital esensial yang menipis dan bahkan kosong," jawab pihak farmasi dalam grup.
Jawaban tersebut justru menuai analogi kritis: "Berarti problemnya di mana ini, Mbak? Karena kalau begini, kayak mau perang tapi enggak punya peluru. Snipernya ada, pelurunya enggak ada, akhirnya snipernya yang mati konyol."
Krisis manajemen ini juga melebar pada isu kesejahteraan staf, termasuk pemotongan insentif atau Jasa Pelayanan (Jaspel). Seorang staf menyoroti adanya ketidakadilan dalam sistem insentif.
"Dengar-dengar harus ikhlas, Dok. Jaspel enggak sesuai juga harus ikhlas, obat enggak ada juga harus ikhlas. Dengar-dengar dokter jaspelnya lebih kecil dari manajemen juga harus ikhlas, mudah-mudahan saya salah dengar," ungkapnya.
Awak media mencoba mengklarifikasi perihal keterlambatan obat kepada pihak farmasi, namun diarahkan kepada pimpinan. Sayangnya, pihak manajemen menyebut Direktur Utama (Dirut) maupun Humas RSUD Soedarsono sedang dalam keadaan sibuk.
Upaya konfirmasi kepada Dirut Burhan melalui pesan WhatsApp hanya menunjukkan tanda centang satu, tanpa ada balasan, membuat polemik krisis obat di rumah sakit rujukan ini semakin misterius.


0 Komentar